Frasa “Eli Eli Lama Sabakhtani” yang menggugah telah menggema di sepanjang sejarah, menggugah berbagai interpretasi dan memicu perdebatan intelektual yang mendalam. Berasal dari bahasa Aram, frasa ini diyakini telah diucapkan oleh Yesus Kristus di kayu salib, dan maknanya yang dalam terus memikat para sarjana, teolog, dan seniman.
Dalam eksplorasi ini, kita akan meneliti asal mula frasa yang kaya ini, menyelidiki beragam interpretasi Kristen, Yahudi, dan akademis, serta menelusuri penggunaannya yang luas dalam seni dan sastra. Melalui lensa ilmiah yang objektif, kita akan mengungkap makna yang tersembunyi dan signifikansi yang terus bergema dari kata-kata yang penuh muatan ini.
Asal Mula Frasa “Eli Eli Lama Sabakhtani”
Frasa “Eli Eli Lama Sabakhtani” berasal dari konteks historis dan alkitabiah yang signifikan. Ini adalah frasa yang diucapkan oleh Yesus Kristus saat disalibkan di Golgota, sebagaimana dicatat dalam Injil Matius (27:46), Markus (15:34), dan Yohanes (19:28).
Dalam bahasa Aram, bahasa yang digunakan oleh Yesus, frasa ini secara harfiah berarti “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Ini mengungkapkan penderitaan dan kesakitan yang luar biasa yang dialami Yesus saat Dia menanggung dosa-dosa dunia.
Interpretasi Kristen
Dalam teologi Kristen, frasa “Eli, Eli, lama sabakhtani” memegang signifikansi mendalam. Menurut Injil Matius, Markus, dan Yohanes, Yesus Kristus mengucapkan kata-kata ini saat disalibkan di Golgota.
Interpretasi tradisional Kristen memahami frasa ini sebagai seruan Yesus kepada Allah Bapa. Frasa tersebut diterjemahkan sebagai “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Ini menunjukkan kesedihan dan penderitaan Yesus yang mendalam saat Ia menanggung dosa-dosa umat manusia.
Simbolisme dan Signifikansi
Frasa “Eli, Eli, lama sabakhtani” memiliki simbolisme yang kaya dalam teologi Kristen. Ini menandakan:
- Pengabaian oleh Allah: Yesus merasa ditinggalkan oleh Bapa-Nya saat Ia menanggung hukuman dosa.
- Kesatuan dengan umat manusia: Penderitaan Yesus menggemakan penderitaan semua orang yang pernah merasa ditinggalkan dan putus asa.
- Kemenangan atas dosa: Meskipun Yesus mengalami kesedihan dan penderitaan, Ia akhirnya mengalahkan dosa dan kematian melalui kebangkitan-Nya.
Interpretasi Yahudi
Dalam interpretasi Yahudi, frasa “Eli Eli lama sabakhtani” ditafsirkan sebagai seruan keputusasaan yang diucapkan oleh Yesus Kristus pada saat penyaliban. Ungkapan ini diterjemahkan sebagai “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?”
Para sarjana Yahudi berpendapat bahwa frasa ini mencerminkan tradisi Yahudi tentang penderitaan Mesianik. Mereka percaya bahwa Mesias akan mengalami penderitaan yang luar biasa sebelum datangnya zaman Mesianik. Dalam konteks ini, frasa “Eli Eli lama sabakhtani” dipandang sebagai ekspresi kesedihan dan keputusasaan Yesus ketika menghadapi penderitaan yang luar biasa.
Perbedaan dengan Interpretasi Kristen
Interpretasi Yahudi berbeda dengan interpretasi Kristen yang umumnya melihat frasa tersebut sebagai tanda ditinggalkan oleh Allah. Dalam interpretasi Yahudi, frasa ini dipahami sebagai bagian dari rencana Allah untuk menyelamatkan umat manusia melalui penderitaan Mesias.
Interpretasi Akademik
Interpretasi akademis tentang frasa “Eli Eli lama sabakhtani” beragam, dengan para sarjana menawarkan perspektif berbeda mengenai makna dan signifikansinya.
Interpretasi Sekuler
Para sarjana sekuler umumnya menafsirkan frasa tersebut sebagai ungkapan keputusasaan dan penderitaan Yesus saat disalibkan. Mereka berpendapat bahwa frasa tersebut merupakan terjemahan Aram dari Mazmur 22:1, yang berisi ratapan seseorang yang merasa ditinggalkan oleh Tuhan.
Interpretasi Agama
Di sisi lain, para sarjana agama Kristen menafsirkan frasa tersebut sebagai sebuah pernyataan iman dan keyakinan. Mereka berpendapat bahwa Yesus mengucapkan frasa tersebut untuk memenuhi nubuat dalam Mazmur 22 dan untuk menunjukkan bahwa bahkan di saat penderitaan yang paling ekstrem, ia percaya pada kasih dan perlindungan Tuhan.
Asal Usul dan Signifikansi
Asal usul frasa “Eli Eli lama sabakhtani” tidak pasti, tetapi diperkirakan berasal dari bahasa Aram, yang merupakan bahasa umum di Yudea pada zaman Yesus. Frasa tersebut memiliki makna yang signifikan dalam tradisi Kristen karena dianggap sebagai salah satu dari “Tujuh Kata Terakhir” yang diucapkan oleh Yesus di kayu salib.
Penggunaan dalam Seni dan Sastra
Frasa “Eli Eli Lama Sabakhtani” telah digunakan dalam berbagai karya seni, sastra, dan musik untuk mengekspresikan tema penderitaan, kesedihan, dan pencarian makna.
Dalam seni, frasa ini sering digunakan untuk menggambarkan penderitaan Yesus di kayu salib. Misalnya, dalam lukisan “Penyaliban” karya Rembrandt, frasa tersebut ditulis di atas salib Yesus, melambangkan penderitaan dan kesedihannya.
Dalam Sastra
- Dalam novel “The Catcher in the Rye” karya J.D. Salinger, karakter utama Holden Caulfield mengutip frasa ini untuk mengekspresikan kesedihan dan kebingungannya.
- Dalam puisi “The Waste Land” karya T.S. Eliot, frasa ini digunakan untuk menggambarkan kekosongan dan keputusasaan pasca-Perang Dunia I.
Dalam Musik
- Dalam lagu “Eli Eli” karya Passion Pit, frasa ini digunakan untuk mengekspresikan kesedihan dan kehilangan.
- Dalam lagu “Sabakhtani” karya Rachmaninoff, frasa ini digunakan untuk mengekspresikan penderitaan dan perjuangan Kristus di kayu salib.
Kesimpulan
Frasa “Eli Eli Lama Sabakhtani” telah menjadi sumber introspeksi dan refleksi yang mendalam selama berabad-abad. Interpretasinya yang beragam mencerminkan kekayaan perspektif agama, budaya, dan intelektual yang telah membentuk pemahaman kita tentang kata-kata terakhir Kristus. Baik sebagai seruan keputusasaan, pengakuan iman, atau eksplorasi misteri ilahi, frasa ini terus mengundang kita untuk merenungkan makna penderitaan, pencarian makna, dan hubungan kita dengan Yang Ilahi.
Pertanyaan yang Sering Diajukan
Apa makna literal dari “Eli Eli Lama Sabakhtani” dalam bahasa Aram?
Tuhan-Ku, Tuhan-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?
Bagaimana frasa ini ditafsirkan dalam teologi Kristen?
Sebagai ungkapan penderitaan Kristus dan pengabaian-Nya oleh Allah Bapa.
Apa pandangan para sarjana Yahudi tentang frasa ini?
Sebagai seruan keputusasaan yang tidak ditujukan kepada Tuhan, tetapi mengekspresikan perasaan pengabaian yang mendalam.