Musik Campursari Adalah Salah – Istilah campursari dalam dunia musik nasional Indonesia merujuk pada persilangan beberapa genre musik kontemporer Indonesia. Nama campursari diambil dari bahasa Jawa yang sebenarnya bersifat umum. Musik campursari di Jawa bagian tengah hingga timur khususnya berkaitan dengan modifikasi alat musik gamelan agar dapat dipadukan dengan alat musik barat, atau sebaliknya. Pada kenyataannya, instrumen-instrumen “asing” ini “dikenakan” dengan standar musik yang disukai masyarakat setempat, seperti gaya dan gending. Kemudian unsur-unsur baru seperti gaya Jawa (keroncong) dan akhirnya dangdut dengan cepat masuk.
Pada dekade 2000-an dikenal bentuk-bentuk campursari yang merupakan campuran gamelan dan keroncong (misalnya Kena Goda de Nurhana), campuran gamelan dan dangdut, serta campuran keroncong dan dangdut (congdut seperti Didi). lagu). Kempot). Kalaupun perkembangan campursari dikritik oleh para pendukung kemurnian genre musik tersebut, semua pihak sepakat bahwa campursari menghidupkan kembali musik tradisional di tanah Jawa.
Musik Campursari Adalah Salah
Munculnya musik campursari awalnya berangkat dari gaya musik keroncong asli, namun campursari tetap menggunakan dasar-dasar keroncong. Ada yang cenderung musik karawitan, ada yang cenderung keroncong. Campursari diolah sehingga menghasilkan jenis musik Jawa modern, liriknya tetap mengadopsi lagu tradisional gending Jawa, meskipun tidak semua, karena sebagian besar seniman mencoba membuat lagu campursari menyesuaikan dengan kondisi saat ini. waktu.
Lagu Campursari Terbaik, Terpopuler, Dan
Awal mula campursari dikenal masyarakat luas karena dipopulerkan oleh Manthous memasukkan keyboard dalam orkes gamelan pada akhir tahun 1980-an melalui grup gamelan “Maju Lancar”. Namun akan lebih jelas jika kita menyimak cerita campursari berikut ini :
Istilah campursari sebenarnya bukan diciptakan oleh Manthous, melainkan oleh beberapa seniman Radio Republik Indonesia (RRI) Semarang pada tahun 1953, yang pengarangnya adalah RM. Samsi, S.Dharmanto dan kawan-kawan (Wiyoso, 2002:165). Pada masa itu, campursari hanya dimainkan untuk mengiringi lagu-lagu bernuansa Jawa dengan durasi 32 ketukan. Peralatannya adalah keroncong plus orkestra, yaitu seperangkat alat musik keroncong yang terdiri dari gitar, cuckoo, cak, cello, bass, flute, biola, plus sex dan siter (Sugiarto, 2000:1).
Selama kurun waktu 20 tahun sejak tahun 1953 hingga pertengahan tahun 1970-an, kegiatan musik campursari RRI Semarang selain rutin mengisi siaran radio juga sesekali mendapat permintaan pentas. Sedangkan memasuki tahun 1978, mereka mulai masuk album rekaman agar Campursari lebih dikenal masyarakat (Wiyoso, 2002:46).
Pada 1967-1969, Manthous menjadi pemain cello di grup campursari S. Dharmanto. Cello bertindak sebagai kendhang atau pengatur ritme. Namun Manthous tidak bisa berbuat banyak untuk mengembangkan musik ini, sehingga campursari tidak bisa menembus pasar dan tidak banyak peminatnya. Bersama kelompok inilah Manthous mulai mempelajari kelebihan dan kekurangan musik campursari karya S. Dharmanto.
Lestarikan Warisan Budaya Leluhur Campursari Di Tanah Sunda
Menurut Yunianto, adik dari Manthous, kenapa waktu itu musiknya disebut campursari, karena ada perpaduan dua jenis musik yang berbeda, yaitu orkestra keroncong dan gamelan sehingga menimbulkan irama campuran yang masih enak dinikmati.
Setelah hampir empat dekade keberadaannya, musik campursari tidak dikenal masyarakat, pada awal tahun 1990-an, campursari kembali muncul dengan format yang berbeda. Anto Sugiarto atau sering dipanggil Manthous menciptakan inovasi baru dalam musik campursari.
Inovasi ini berawal dari ketertarikan Manthous terhadap musik yang dikembangkan oleh adik-adiknya. Saat itu Manthous tetap tinggal di Jakarta. Saat kembali ke desanya, ia melihat adik-adiknya, Yunianto, Suharjono, dan beberapa saudaranya memainkan musik yang memadukan gamelan dengan alat musik keyboard.
Saat itu adik-adiknya memiliki kelompok untuk tujuan pentas pada hajatan dengan nama kokek’an (diambil dari ungkapan cokek’an gamelan, yaitu sejenis gamelan yang ditujukan untuk menyanyi, terdiri dari gendang, sitar dan gong untuk atap/kayu).
Gelar Kontes Nembang Campursari Untuk Lestarikan Budaya Jawa
Campursari ciptaan Manthous sangat berbeda dengan Campursari tahun 60-an. Dalam artikel berjudul “Manthous dan Kiprah Musiknya”, Manthous mengatakan bahwa campursari merupakan perpaduan antara musik tradisional dan elektronik atau perpaduan antara pentatonis dan diatonis. Musik ini sangat berbeda dengan musik campursari pada tahun 60-an yang cenderung musik keroncong. Dalam artikel ini Manthous juga mengatakan bahwa campursari adalah musik yang ia ciptakan berkat tekadnya.
Campursari Manthous menggabungkan instrumen gamelan dengan instrumen modern. Alat musik tradisional yang digunakan adalah saron, demung, gendher, kendang, siter, dan gong sedangkan alat musik modern adalah keyboard, ukulele (cak dan cuk), dan bass elektrik (Wardhani: 2011, 34).
Sekalipun musik campursari memadukan alat musik gamelan dengan alat musik modern, unsur gamelan dalam musik campursari akan terasa sangat menonjol. Untuk menghindari inkonsistensi dalam memadukan musik pentatonis dan diatonik, maka nada-nada gamelan pengiring campursari harus diselaraskan dengan nada-nada keyboard.
Pada tahun 1993, Manthous mendirikan CSGK (Campursari Gunungkidul) “Maju Lancar” (nama perusahaan bus milik Sutrisno, pemberi dana) bersama adik-adiknya, antara lain Suharjono, Yunianto, dan Heru. Orientasi Manthous dan CSGK dalam menggarap lagu campursari adalah di pasar rekaman. Karena itulah Manthous sangat serius menggarap setiap album campursari. Di setiap album CSGK, ia melakukan inovasi-inovasi tertentu, seperti menambahkan berbagai musik etnik Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar musik campursari terasa lebih unik dan kreatif. Namun, ada satu aturan dalam campursari yang tidak bisa ditinggalkan meski ditambah alat musik apapun, yaitu kombinasi tangga nada pentatonik dan diatonis.
Diberikan Nikmat Untuk Mensyukuri
Agar musik campursari menjadi musik yang dapat dinikmati semua kalangan maka lirik lagu campursari dibuat sederhana. Lirik dalam lagu campursari berisi tentang lagu romantis, pariwisata, kehidupan sosial, dan humor sosial. Meskipun sebagian besar lirik dalam lagu campursari Manthous menggunakan lirik bahasa Jawa, sebenarnya tidak ada patokan bahwa campursari harus menggunakan bahasa Jawa dalam liriknya. Kata-kata yang digunakan dalam lirik campursari juga merupakan kata-kata yang sering digunakan dalam kegiatan sehari-hari.
Pada masa kejayaannya antara tahun 1993 hingga awal 2000-an, CSGK selalu mendapat banyak tawaran untuk tampil. Dalam satu bulan, CSGK bisa tampil lebih dari tiga puluh kali. Campursari menjadi musik yang tidak hanya dinikmati oleh masyarakat Jawa saja, tetapi tersebar di seluruh Indonesia. Saat itu juga muncul grup campursari. Tidak hanya di Gunungkidul, tetapi juga di luar provinsi Yogyakarta. Sayangnya banyak musisi yang awalnya menggabungkan alat musik diatonis dan pentatonis tanpa berusaha menyelaraskannya. Inilah yang sering dikritik Manthous. Namun, ia juga mensyukuri gejala tersebut, karena itu berarti masyarakat Indonesia semakin menyukai campursari.
Selama hampir sepuluh tahun berkarya, CSGK menerbitkan album campursari hingga enam jilid. Keenam album tersebut merupakan satu album yang semua lagunya merupakan musik campursari. Sedangkan jika dihitung semua album, maka CSGK telah merilis lebih dari sepuluh album. 6 album merupakan album khusus campursari, sedangkan album lainnya adalah album keroncong, pop jawa, dan lain-lain. Menurut Dhimas Ratin Sutedjo, tujuan Manthous merilis album selain Campursari adalah agar masyarakat bisa membedakan antara musik campursari, keroncong, dan musik pop Jawa.
Berkat keberhasilannya mengembangkan musik campursari, Manthous semakin dikenal masyarakat. Ia pernah diundang ke berbagai acara besar di Indonesia, seperti mendapat kehormatan menggelar pentas solo campursari di Ancol pada 25 Oktober 2000, menjadi bintang tamu di ulang tahun Jakarta ke-473 pada 21 Juni 2000, hingga kesempatan tampil di acara-acara besar di Indonesia. satu. panggung dengan musisi hebat seperti Chrisye, /Rif, dan Yuni Shara. Manthous juga pernah mendapatkan puluhan penghargaan, antara lain Sertifikat Penghargaan Seni Sri Sultan HB X pada tahun 1999, Penghargaan Etnikom pada tahun 2002, dan Sertifikat Penghargaan sebagai seniman inovatif dari Persatuan Wartawan Indonesia pada tahun 1997.
Campursari Dan Pop Jawa Itu Beda!
Masa itu merupakan masa perubahan dan kemunduran makna campursari. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, campursari merupakan kolaborasi dua jenis budaya, yaitu perpaduan tangga nada diatonis (budaya asing) dan pentatonik (budaya etnik) (Wardhani, 2011:3). Namun pada era sekarang ini, kebanyakan orang beranggapan bahwa lagu apapun yang menggunakan lirik bahasa Jawa adalah musik campursari, terlepas dari apakah musik tersebut mengandung kombinasi tangga nada diatonis dan pentatonis atau tidak.
Menurut Suharjono, penyebab utama yang menyebabkan perubahan makna semakin tidak terbendung adalah munculnya seniman-seniman yang menamakan dirinya musisi campursari, namun jenis musiknya tidak lagi berorientasi pada musik campursari Manthous. Salah satunya adalah Didi Kempot. Lagu-lagu Didi Kempot sebenarnya adalah lagu-lagu pop Jawa, hal itu karena lagu-lagunya tidak bertangga nada pentatonis.
Bahkan Didi Kempot dalam sebuah wawancara menyatakan bahwa dirinya bukanlah seorang musisi campursari, melainkan seorang CongDut. Karena menurutnya tidak ada unsur pentatonis musik gamelan dalam lagu-lagunya, melainkan dominasi musik dari ukulele keroncong dan gendang dangdut. Namun, produser menandai campursari dalam albumnya untuk diangkat oleh gemuruh musik campursari saat itu.
Alasan lainnya adalah masuknya musik organ tunggal yang dinilai lebih praktis, karena dengan satu instrumen saja, bunyi instrumen tersebut sudah mirip dengan instrumen campursari aslinya. Selain lebih praktis, biaya mengundang musisi organ tunggal juga jauh lebih murah dibandingkan harga band campursari tunggal. Selain itu, ketiadaan tempat yang menyediakan fasilitas bagi para remaja untuk belajar musik campursari juga menjadi alasan mengapa musik campursari mulai memudar. Saat ini studio musik campursari yang lengkap hanya dimiliki oleh Sanggar Ungu dan Campursari Sido Rukun.
Menurut Joni Gunawan, pemilik Sanggar Ungu Campursari Gunungkidul, saat ini hanya ada dua grup campursari di Playen yang masih konsisten memainkan musik campursari Manthous sebagai gaya hidup mereka. Kedua grup tersebut adalah Sanggar Ungu miliknya, dan grup lainnya adalah Campursari Sido Rukun yang dinaungi oleh Dhimas Sutedjo. Selain kedua grup tersebut, sebenarnya masih banyak grup yang menggunakan nama campursari sebagai nama grupnya, namun kebanyakan dari mereka adalah pemusik organ tunggal. Menurutnya, keberadaan dan keberadaan musik campursari klasik yang asli dan lahir dari Gunungkidul telah memudar bahkan hampir mati di daerahnya sendiri.
Beberapa musisi yang dikenal luas masyarakat saat itu adalah Didi Kempot, Cak Dikin, Sonny Joss, dan Dhimas Tedjo. Sayangnya, dari nama-nama musisi tersebut, hanya Dhimas Tedjo yang masih berkiblat pada musik campursari Manthous, sedangkan yang lain bisa disebut musik pop Jawa. Ini karena sudah