Muzara’ah merupakan salah satu bentuk kerja sama dalam bidang pertanian yang telah dikenal sejak zaman dahulu. Dalam praktiknya, muzara’ah menjadi mekanisme yang menguntungkan bagi pemilik lahan dan penggarap dalam mengoptimalkan pemanfaatan lahan dan sumber daya pertanian.
Secara umum, muzara’ah dapat didefinisikan sebagai perjanjian kerja sama antara pemilik lahan (shahibul ardh) dengan penggarap (zaari’) untuk mengelola dan menggarap lahan pertanian dengan bagi hasil berdasarkan kesepakatan bersama.
Pengertian Muzara’ah
Muzara’ah merupakan bentuk akad kerjasama dalam pertanian antara pemilik lahan (pemilik modal) dan petani penggarap (pengelola). Dalam akad ini, pemilik lahan menyediakan lahannya, sedangkan petani penggarap menyediakan tenaga kerja, peralatan, dan keahlian bertani. Hasil panen kemudian dibagi berdasarkan kesepakatan yang telah ditetapkan di awal akad.Contoh
sederhana muzara’ah adalah ketika seorang pemilik lahan memiliki sebidang tanah yang ingin diolah, namun ia tidak memiliki keahlian bertani. Ia kemudian menjalin akad muzara’ah dengan seorang petani penggarap yang memiliki keahlian dan pengalaman bertani. Petani penggarap mengelola lahan tersebut dan menanam tanaman yang disepakati.
Hasil panen kemudian dibagi, misalnya dengan perbandingan 50:50 antara pemilik lahan dan petani penggarap.
Syarat dan Rukun Muzara’ah
Syarat sah muzara’ah antara lain:
Ada ijab dan kabul dari kedua belah pihak.
Lahan yang diolah harus jelas dan diketahui batas-batasnya.
Hasil bagi hasil harus jelas dan disepakati di awal.
Jangka waktu muzara’ah harus jelas dan disepakati.
Rukun muzara’ah meliputi:
Pemilik lahan (pemilik modal)
Petani penggarap (pengelola)
Lahan yang diolah
Hasil bagi hasil
Jangka waktu muzara’ah
Syarat dan Rukun Muzara’ah
Muzara’ah adalah akad kerja sama antara pemilik lahan (shahibul ardh) dan penggarap (zaari’) dengan bagi hasil sesuai kesepakatan bersama. Agar muzara’ah dapat dianggap sah, maka harus memenuhi beberapa syarat dan rukun.
Syarat Muzara’ah
Kedua belah pihak harus memiliki hak milik yang sah atas lahan dan tenaga yang akan digunakan.
Nisbah bagi hasil harus disepakati secara jelas dan adil.
Tanah yang digunakan harus sesuai untuk ditanami.
Tidak boleh ada unsur paksaan atau penipuan dalam akad.
Rukun Muzara’ah
Rukun
Penjelasan
Ijab dan kabul
Pernyataan saling setuju antara pemilik lahan dan penggarap mengenai akad muzara’ah.
Shahibul ardh (pemilik lahan)
Pihak yang memiliki hak milik atas lahan yang akan digarap.
Zaari’ (penggarap)
Pihak yang akan menggarap lahan milik shahibul ardh.
Ardh (lahan)
Tanah yang akan ditanami dan menjadi objek muzara’ah.
Gharas (bibit)
Benih atau bibit tanaman yang akan ditanam di lahan.
Hak dan Kewajiban Para Pihak
Dalam sistem muzara’ah, terdapat hak dan kewajiban yang jelas antara pemilik lahan (shahibul ardh) dan penggarap (zaari’). Berikut rinciannya:
Hak dan Kewajiban Pemilik Lahan (Shahibul Ardh)
Menerima bagi hasil sesuai dengan kesepakatan.
Menyediakan lahan untuk ditanami.
Menanggung biaya pemeliharaan lahan, seperti perbaikan saluran irigasi.
Berhak mengawasi jalannya usaha tani.
Berhak meminta ganti rugi jika penggarap lalai dalam mengelola lahan.
Hak dan Kewajiban Penggarap (Zaari’)
Menerima bagi hasil sesuai dengan kesepakatan.
Menggarap lahan dengan baik dan benar.
Menanggung biaya operasional, seperti biaya bibit, pupuk, dan tenaga kerja.
Bertanggung jawab atas kerusakan lahan akibat kelalaiannya.
Berhak menggunakan lahan untuk tujuan pertanian selama masa kontrak.
Cara Melaksanakan Muzara’ah
Muzara’ah merupakan akad kerja sama dalam pertanian di mana pemilik lahan (shahibul ardh) memberikan lahannya kepada penggarap (zaari’) untuk dikelola dan ditanami. Sebagai imbalannya, penggarap memperoleh bagian tertentu dari hasil panen.
Langkah-langkah Melaksanakan Muzara’ah
Penentuan lahan dan penggarap: Shahibul ardh dan zaari’ menyepakati lahan yang akan diolah dan menentukan siapa yang akan menjadi penggarap.
Perjanjian kerja sama: Kedua belah pihak membuat perjanjian tertulis yang mengatur ketentuan-ketentuan kerja sama, seperti jangka waktu, bagi hasil, dan kewajiban masing-masing pihak.
Penggarapan lahan: Zaari’ mengolah lahan sesuai dengan kesepakatan, termasuk mempersiapkan lahan, menanam, merawat tanaman, dan memanen.
Pembagian hasil: Setelah panen, hasil pertanian dibagi sesuai dengan kesepakatan dalam perjanjian. Shahibul ardh memperoleh bagiannya, sedangkan zaari’ memperoleh bagiannya sebagai imbalan atas kerja kerasnya.
Contoh Kasus Pelaksanaan Muzara’ah
Seorang petani bernama Pak Budi memiliki lahan seluas 1 hektare. Ia bekerja sama dengan seorang penggarap bernama Pak Tono untuk mengelola lahan tersebut. Dalam perjanjian kerja sama, disepakati bahwa Pak Tono akan memperoleh 40% dari hasil panen sebagai imbalan atas kerja kerasnya.
Pak Tono kemudian mengolah lahan, menanam padi, dan merawat tanaman dengan baik. Setelah panen, diperoleh hasil sebesar 5 ton gabah. Pak Budi memperoleh bagiannya sebesar 60% atau 3 ton gabah, sedangkan Pak Tono memperoleh bagiannya sebesar 40% atau 2 ton gabah.
Pembagian Hasil Panen
Dalam muzara’ah, pembagian hasil panen diatur berdasarkan kesepakatan awal antara pemilik lahan (muzari’) dan penggarap (muzari’ah). Umumnya, hasil panen dibagi sesuai dengan proporsi kontribusi masing-masing pihak.
Kontribusi Pemilik Lahan
Menyediakan lahan untuk ditanami
Menyediakan air untuk irigasi
Menyediakan benih dan pupuk
Menyediakan peralatan pertanian dasar
Kontribusi Penggarap
Menanam dan merawat tanaman
Menyiram dan memupuk tanaman
Melindungi tanaman dari hama dan penyakit
Memanen dan mengolah hasil panen
Contoh Perhitungan Pembagian Hasil Panen
Misalkan muzari’ah menyumbangkan 60% dari biaya produksi, sedangkan muzari’ berkontribusi 40%. Maka, hasil panen dibagi sebagai berikut:
Muzari’ah: 60% x Hasil Panen
Muzari’: 40% x Hasil Panen
Dalam contoh ini, jika hasil panen adalah 100 ton, maka muzari’ah akan menerima 60 ton dan muzari’ akan menerima 40 ton.
Penghentian Muzara’ah
Muzara’ah dapat berakhir karena beberapa alasan, antara lain:
Alasan Penghentian Muzara’ah
Kesepakatan berakhir pada jangka waktu yang ditentukan.
Tanaman musnah atau rusak karena faktor alam.
Salah satu pihak (pemilik lahan atau penggarap) meninggal dunia atau tidak mampu melaksanakan kewajibannya.
Pelanggaran syarat-syarat muzara’ah oleh salah satu pihak.
Terjadinya hal-hal yang membatalkan akad, seperti jual beli lahan atau pengalihan hak penggarapan.
Ketentuan Hukum tentang Penghentian Muzara’ah
Ketentuan Pasal 1625 KUH Perdata: “Perjanjian sewa berakhir: 1. Dengan berakhirnya jangka waktu sewa; 2. Karena musnahnya barang yang disewakan; 3. Karena pengakhiran perjanjian menurut undang-undang atau menurut perjanjian.”
Kesimpulan
Muzara’ah menjadi salah satu alternatif pengelolaan lahan pertanian yang dapat meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani. Dengan pemahaman yang jelas mengenai hak dan kewajiban para pihak yang terlibat, muzara’ah dapat menjadi bentuk kerja sama yang saling menguntungkan dan berkontribusi pada ketahanan pangan.
Bagian Pertanyaan Umum (FAQ)
Apa perbedaan antara muzara’ah dan musaqah?
Muzara’ah berfokus pada pengelolaan lahan pertanian, sedangkan musaqah berfokus pada pemeliharaan tanaman.
Apakah bagi hasil dalam muzara’ah selalu berupa hasil panen?
Tidak selalu, bagi hasil juga dapat berupa uang atau bagian dari lahan pertanian.
Bagaimana jika terjadi perselisihan antara pemilik lahan dan penggarap?
Perselisihan dapat diselesaikan melalui musyawarah atau melalui pengadilan.