Serat Tripama Pupuh Dhandhanggula

Made Santika March 16, 2024

Di antara karya sastra Jawa Kuno, Serat Tripamā Pupuh Dhandhanggula menonjol sebagai mahakarya yang kaya akan nilai budaya dan ajaran moral. Serat ini mengisahkan perjalanan spiritual tiga bersaudara, Tripamā, Tripamti, dan Tripranaya, yang dipenuhi dengan petualangan, pelajaran hidup, dan refleksi mendalam.

Ditulis pada abad ke-15 oleh pujangga Ronggowarsito, Serat Tripamā Pupuh Dhandhanggula menggunakan pupuh Dhandhanggula, sebuah bentuk puisi tradisional Jawa yang dikenal dengan keindahan ritmenya. Naskah serat ini telah ditemukan dalam berbagai versi, menunjukkan pengaruh dan popularitasnya yang luas dalam masyarakat Jawa.

Serat Tripamā Pupuh Dhandhanggula

Serat Tripamā Pupuh Dhandhanggula merupakan karya sastra Jawa klasik yang ditulis dalam bentuk tembang macapat, yaitu Dhandhanggula. Serat ini berisi ajaran-ajaran etika dan moral yang ditujukan bagi masyarakat Jawa pada zaman dahulu.

Latar Belakang dan Sejarah

Serat Tripamā Pupuh Dhandhanggula diperkirakan ditulis pada abad ke-16 oleh Sunan Kalijaga, salah satu Wali Sanga penyebar agama Islam di tanah Jawa. Serat ini ditulis sebagai bagian dari upaya Sunan Kalijaga dalam mengajarkan ajaran-ajaran Islam kepada masyarakat Jawa yang masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme.

Pengarang

Serat Tripamā Pupuh Dhandhanggula dikarang oleh Sunan Kalijaga, salah satu Wali Sanga penyebar agama Islam di tanah Jawa. Sunan Kalijaga dikenal sebagai seorang pujangga dan ahli sastra, sehingga banyak karya sastra yang dikaitkan dengan namanya.

Periode Penulisan

Serat Tripamā Pupuh Dhandhanggula diperkirakan ditulis pada abad ke-16, bersamaan dengan periode penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Pada masa itu, Sunan Kalijaga aktif berdakwah dan mengajarkan ajaran-ajaran Islam kepada masyarakat Jawa.

Sumber Naskah

Sumber naskah Serat Tripamā Pupuh Dhandhanggula yang paling tua ditemukan pada koleksi naskah Kraton Surakarta. Naskah tersebut ditulis pada daun lontar dan diperkirakan berasal dari abad ke-18. Selain itu, terdapat juga beberapa naskah lain yang ditemukan di berbagai perpustakaan dan lembaga penelitian.

Struktur dan Isi Serat Tripamā Pupuh Dhandhanggula

Serat Tripamā Pupuh Dhandhanggula adalah karya sastra Jawa Kuno yang ditulis pada abad ke-15. Serat ini menggunakan pupuh Dhandhanggula sebagai bentuk puisinya, yang terdiri dari empat baris dengan rima a-b-a-b.

Struktur Pupuh Dhandhanggula

Pupuh Dhandhanggula terdiri dari empat baris, dengan suku kata dalam setiap baris sebagai berikut:

  • Baris 1: 11 suku kata
  • Baris 2: 10 suku kata
  • Baris 3: 9 suku kata
  • Baris 4: 8 suku kata

Isi dan Tema Serat Tripamā

Serat Tripamā berisi ajaran moral dan spiritual yang disampaikan melalui kisah perjalanan tiga bersaudara, yaitu Tripamā, Tripurā, dan Tripantā. Ketiga bersaudara ini mengembara untuk mencari makna hidup dan kebahagiaan sejati.

Tema utama yang dibahas dalam serat ini adalah:

  • Pencarian jati diri dan makna hidup
  • Pentingnya pengendalian diri dan kebajikan
  • Ketidakkekalan duniawi

Contoh Kutipan

Berikut adalah contoh kutipan dari Serat Tripamā Pupuh Dhandhanggula yang menunjukkan gaya bahasa dan teknik penulisan:

“Tripamā, Tripurā, Tripantā,
Tigang putra sangkaling Nāgabhūṣaṇa,
Katelu anom denira wus kasmaran,
Sakalirā manggihi hyang parātman.”

Kutipan ini menunjukkan penggunaan bahasa Jawa Kuno yang puitis dan metaforis. Penggunaan kata “anom” (muda) dan “kasmaran” (jatuh cinta) menggambarkan perjalanan spiritual ketiga bersaudara yang sedang mencari kebahagiaan sejati.

Karakter dan Tokoh dalam Serat Tripamā Pupuh Dhandhanggula

Serat Tripamā Pupuh Dhandhanggula menyajikan beragam karakter dan tokoh yang memainkan peran penting dalam alur cerita. Karakter-karakter ini digambarkan dengan jelas, memiliki motivasi dan tujuan yang berbeda, serta menjalin hubungan yang kompleks.

Karakter Utama

Karakter utama dalam Serat Tripamā Pupuh Dhandhanggula adalah Tripamā, seorang putri cantik dan bijaksana dari Kerajaan Kediri. Ia menjadi pusat cerita, menjalani perjalanan spiritual dan cinta yang menantang.

Tokoh Pendukung

  • Patih Amangkurat: Patih Kerajaan Kediri, ayah Tripamā, yang bijaksana dan penyayang.
  • Permaisuri Sekar Dewi: Ibu Tripamā, seorang wanita saleh dan penyayang.
  • Pangeran Bandung Bondowoso: Putra Raja Brawijaya dari Kerajaan Majapahit, yang jatuh cinta pada Tripamā.
  • Pangeran Singhawardhana: Putra Raja Kediri, saudara Tripamā, yang iri pada Bandung Bondowoso.
  • Batara Narada: Dewa yang membimbing Tripamā dalam perjalanannya.

Hubungan Antar Tokoh

Hubungan antar tokoh dalam Serat Tripamā Pupuh Dhandhanggula rumit dan dinamis. Tripamā dan Bandung Bondowoso memiliki hubungan cinta yang diuji oleh perbedaan status sosial dan persaingan saudara. Patih Amangkurat dan Permaisuri Sekar Dewi memiliki hubungan orang tua-anak yang penuh kasih sayang.

Singhawardhana didorong oleh kecemburuan dan berusaha menyabotase hubungan Tripamā dan Bandung Bondowoso.

Batara Narada berperan sebagai pembimbing spiritual Tripamā, membantunya mengatasi tantangan dan menemukan jalannya.

Nilai-nilai Budaya dan Ajaran Moral dalam Serat Tripamā Pupuh Dhandhanggula

Serat Tripamā Pupuh Dhandhanggula merupakan karya sastra Jawa yang kaya akan nilai-nilai budaya dan ajaran moral. Karya ini merefleksikan nilai-nilai masyarakat Jawa pada zamannya dan mengajarkan tentang prinsip-prinsip hidup yang baik.

Nilai-nilai Budaya Jawa

Nilai-nilai budaya Jawa yang tercermin dalam serat ini antara lain:

  • Gotong royong: Tokoh-tokoh dalam serat digambarkan selalu bekerja sama dan saling membantu dalam menghadapi kesulitan.
  • Musyawarah: Pengambilan keputusan dilakukan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat.
  • Rasa hormat: Tokoh-tokoh dalam serat selalu menunjukkan rasa hormat kepada orang lain, terutama kepada orang yang lebih tua.
  • Kesopanan: Tokoh-tokoh dalam serat selalu menjaga kesopanan dalam bertutur kata dan berperilaku.

Ajaran Moral dan Etika

Selain nilai-nilai budaya, Serat Tripamā Pupuh Dhandhanggula juga mengajarkan ajaran moral dan etika. Ajaran-ajaran tersebut antara lain:

  • Kebenaran: Tokoh utama dalam serat, Tripamā, selalu berpegang teguh pada kebenaran dan kejujuran.
  • Keadilan: Serat ini mengajarkan pentingnya menegakkan keadilan dan membela kebenaran.
  • Keberanian: Tokoh-tokoh dalam serat selalu berani menghadapi kesulitan dan tantangan.
  • Pengorbanan: Serat ini mengajarkan bahwa pengorbanan terkadang diperlukan untuk mencapai tujuan yang lebih besar.

Berikut beberapa contoh konkret dari teks yang menunjukkan nilai-nilai dan ajaran tersebut:

“Tripama ngandika ring wong sakempalanipun, “Ingkang paduka ratu samya aturi, mugi paduka ratu pareng maring wuri, sakelaruaning manah, tan ana liyaning ucap” (Pupuh 1)

Kutipan ini menunjukkan nilai gotong royong dan musyawarah dalam masyarakat Jawa. Tripamā mengajak rakyatnya untuk bekerja sama dan bermusyawarah untuk mencapai mufakat.

“Sang Prabu Sasrabahu malik rikang arga, wiwara ring sarwa satru, angandhani sang wiku, ing tyasing rabi denira, duka saking tyasira, tan karana dewa satru” (Pupuh 14)

Kutipan ini menunjukkan nilai keberanian dan pengorbanan. Prabu Sasrabahu tidak takut menghadapi musuh-musuhnya, bahkan demi melindungi istrinya.

Pengaruh dan Warisan Serat Tripamā Pupuh Dhandhanggula

Serat Tripamā Pupuh Dhandhanggula telah memberikan pengaruh yang mendalam pada sastra dan budaya Jawa. Karya sastra ini telah menjadi sumber inspirasi dan adaptasi dalam berbagai bentuk seni dan media.

Salah satu pengaruh yang paling menonjol adalah penggunaan pupuh dhandhanggula dalam karya sastra Jawa. Pupuh ini, yang ditandai dengan struktur bait empat baris dengan rima akhir a-b-a-b, telah menjadi salah satu pupuh yang paling populer dalam sastra Jawa.

Adaptasi dan Interpretasi Ulang

Serat Tripamā Pupuh Dhandhanggula telah diadaptasi dan diinterpretasi ulang dalam berbagai bentuk seni dan media. Adaptasi tersebut antara lain:

  • Teater: Serat Tripamā Pupuh Dhandhanggula telah diadaptasi menjadi pertunjukan teater tradisional Jawa, seperti wayang kulit dan ketoprak.
  • Tari: Serat Tripamā Pupuh Dhandhanggula juga menjadi inspirasi bagi koreografi tari tradisional Jawa, seperti tari Gambyong dan tari Bedhaya.
  • Musik: Serat Tripamā Pupuh Dhandhanggula telah menginspirasi komposisi musik tradisional Jawa, seperti tembang dan ladrang.
  • Sastra Modern: Unsur-unsur Serat Tripamā Pupuh Dhandhanggula, seperti penggunaan pupuh dhandhanggula dan temanya, telah diadaptasi dalam karya sastra modern Jawa.

Dampak pada Budaya Jawa

Pengaruh Serat Tripamā Pupuh Dhandhanggula pada budaya Jawa sangatlah luas. Karya sastra ini telah membantu membentuk identitas budaya Jawa dan menjadi bagian integral dari warisan budaya Jawa. Serat Tripamā Pupuh Dhandhanggula juga telah berkontribusi pada pelestarian bahasa dan sastra Jawa.

Versi Adaptasi Dampak
Serat Tripamā Pupuh Dhandhanggula Asli – Sumber inspirasi bagi karya sastra dan seni Jawa

Membentuk identitas budaya Jawa

Membantu melestarikan bahasa dan sastra Jawa

Wayang Kulit Adaptasi dalam bentuk pertunjukan wayang – Mempopulerkan cerita dan ajaran Serat Tripamā

Memperkaya seni pertunjukan Jawa

Menjadi hiburan dan pendidikan bagi masyarakat Jawa

Tari Gambyong Adaptasi dalam bentuk koreografi tari – Menampilkan nilai-nilai luhur Serat Tripamā

Memperkaya seni tari Jawa

Menjadi atraksi budaya yang memikat

Tembang Jawa Adaptasi dalam bentuk komposisi musik – Menyebarkan ajaran Serat Tripamā melalui lagu

Memperkaya musik tradisional Jawa

Menjadi sarana ekspresi budaya dan religi

Pemungkas

Melalui kisah yang memikat dan ajaran yang mendalam, Serat Tripamā Pupuh Dhandhanggula terus menginspirasi dan membimbing generasi pembaca. Sebagai sebuah warisan budaya yang berharga, serat ini tetap relevan hingga saat ini, menawarkan wawasan tentang nilai-nilai luhur dan prinsip-prinsip etika yang membentuk karakter dan identitas masyarakat Jawa.

Bagian Pertanyaan Umum (FAQ)

Siapa pengarang Serat Tripamā Pupuh Dhandhanggula?

Ronggowarsito

Pada periode kapan serat ini ditulis?

Abad ke-15

Apa isi utama dari serat ini?

Perjalanan spiritual tiga bersaudara yang dipenuhi dengan petualangan, pelajaran hidup, dan refleksi mendalam.

Apa nilai budaya yang tercermin dalam serat ini?

Nilai-nilai luhur masyarakat Jawa, seperti kesabaran, ketekunan, dan hormat kepada orang tua.

Made Santika

Berbagi banyak hal terkait teknologi termasuk Internet, App & Website.

Leave a Comment

Artikel Terkait